Kamis, 23 Juni 2011

SEANDAINYA...... (Drama)


Seandainya…
Penggambaran tokoh:
1.      Riri     : Seorang gadis belia berumur 18 tahun yang merupakan siswa jurusan tata busana, anak seorang Ibu yang berprofesi sebagai pelacur. Cantik, berambut hitam sebahu, dan suka mengurung diri di gudang.
2.      Ibu      : Wanita berumur 30-an tahun yang berprofesi sebagai pelacur. Ia tidak pernah peduli akan kehidupan anaknya Riri.
3.      Katy    : Gadis mungil berusia 12 tahun, cantik dan centil. Hantu penunggu gudang yang merupakan satu-satunya sahabat Riri.
4.      Madam Marcia: Wanita berusia 50 tahun, wajahnya sedikit galak dan tegas. Ia merupakan dosen sekaligus mentor Riri di jurusan tata busana.
5.      Vino    : Cowok keren kekasih Riri.
Sebuah kamar berukuran 3× 3 meter di dalamnya terdapat sebuah ranjang susun dan  jok kursi mobil tua di sudut kanannya. Sebuah radio tua tepat berdiri di atas  meja belajar yang  mengarah ke jendela dengan pemandangan alam  laut yang indah. Tampak dua buah retakan kecil dan debu pekat di jendela itu. Ditambah lagi cat dasar biru laut yang pudar membuat suasana di kamar itu bak sebuah museum  tua. Gulungan kertas terbujur kaku disana-sini sangsi atas ketidakberdayaan mereka. Tampak seorang gadis mungil berambut hitam sebahu sedang menorehkan penanya ke sebuah kertas putih bersih yang sudah lelah menunggu. Gadis itu bernama Riri. Ia tampak kebingungan. Sesekali ia menoleh ke arah jam weker di sebelah kanannya. Kali ini ia benar-benar pusing. Di keningnya tersirat sejuta impian dan pemberontakan atas dirinya, keluarganya, dan hidupnya sendiri. Ia menghela napas panjang dan bergegas menuju gudang dengan pensil kecil dan selembar kertas berukuran A4 di tangannya.


ADEGAN I (Gudang)
            Riri berjalan menyusuri lorong dengan pencahayaan yang redup menuju gudang. Sesekali ia mempercepat langkahnya dan menoleh ke belakang memastikan tidak ada orang yang melihatnya. Tepat di depan pintu gudang langkahnya terhenti. Ia merogoh kantongnya meraih sebuah kunci kecil yang dari dulu dimilikinya. Ia memasukkan kunci itu dan memutarnya sebanyak dua kali. Lalu ia mendorong pintu itu sekuat tenaga. Tiba-tiba ia terhempas dan pintu itu tertutup kembali.
Riri      : Katy... gue tahu ini pasti ulahmu. Sekarang keluar kau! (Riri tampak kesal. Selang beberapa  lama Katy tak muncul juga. Ia kembali memanggilnya). Katy... Katy... (teriakannya menggema di dalam gudang).
Katy    : Iya, iya... gue  keluar... maaf ya! Apa yang kamu bawa itu? Baju untukku ya? Udah lama nih aku nggak ganti baju. (menyambar kertas putih di tangan Riri). Kok kosong? (melongo kaget).
Riri      : Makanya jangan asal nyambar. Gue kesini buat cari ide. Jadi, jangan ganggu gue!
Katy    : Yaaaaaaaa......(tampak lesuh). Kirain dah jadi, eh ternyata baru mau digambar.
Riri      : Ah bawel kamu! Sudah diam! (menyandarkan tubuhnya ke pintu).
            Riri tampak cekatan menorehkan penanya ke atas kertas A4. Dirinya tampak dipenuhi ilham. Tak lama kemudian jadilah sebuah rancangan terbaru karyanya.
Riri      : Syukurlah..... akhirnya selesai. (menghela napas panjang).
Katy    : Hah....... udah jadi. Mana gue cobain! (bangkit dari tempat duduknya).
Riri      : Nih pasti pas di badan kamu!
Katy    : Wah bagus banget. Ini baju terbaik yang pernah kamu buat.
Riri      : Udah...... itu sudah berjuta kali keluar dari mulutmu. Hhmmm....sekarang nikmatilah baju barumu. Gue dah ngantuk nih, mau tidur. (merebahkan tubuhnya di lantai gudang).
ADEGAN II
            Keesokan harinya ia dibangunkan oleh teriakan Katy.
Katy    : Aaaaaarrrrgggghhhh....... ada tikus...(melongo kaget)
Riri      : Katy.... jangan mulai ya!
Katy    : Gue nggak bohong. Kalau nggak percaya liat tuh di samping kamu ada pangeran yang siap menciummu!
Riri      : Arrggghhh.........(terperangah kaget). Eh liat tuh kok baju kamu sobek!
Katy    : Tuh..... (menunjuk kertas A4 Riri).
Riri      : Oh... tidak. Kok bisa digigit tikus sih padahal harus dikumpulin hari ini. Madam Marcia pasti marah nih dan gue pasti nggak bisa ikut ujian meja. Aduh gimana dong..... Hei katy jangan bengong aja dong... bantuin! Katy... Katy... (Katy menghilang entah kemana).
            Matahari kini bersinar terang. Ia harus menuju kampus untuk mengumpulkan tugasnya. Riri tampak gelisah. Kegagalan sudah menjemputnya. Ia mencoba tegar meenghadapi semuanya. Sejuta alasan telah dipersiapkannya di hadapan Madam Marcia nanti. Langkahnya seolah diperlambat, ia tak ingin masuk ke ruangan Madam Marcia tapi kakinya memaksa. Akhirnya tibalah ia di hadapan pengadilan takdir.
Riri                              : Pagi, Madam. Maaf saya datang terlambat.
Madam Marcia            : Hhmmm.... (menggeram) Duduk!
Riri                              : Saya tahu Madam marah gara-gara saya terlambat  ngumpulin desain
saya (berbicara dengan kepala tertunduk).
Madam Marcia            : Bukan itu penyebabnya, Sayang. Walaupun kamu tidak mengumpulkan desain itu, kamu tetap saya ikutkan ujian meja karena potensi kamu memang bagus. Tapi sayang kamu telah membohongi kami semua. Ini bukan tanda tangan ibu kamu kan! (menatap Riri dengan tajam). Ayo jawab!(tegas).
Riri                              : I-y-a Ma-dam... (berbicara terbatah-batah).
Madam Marcia            : Bagus... bagus... Jadi kamu tidak mendapat persetujuan orang tua kamu masuk ke perguruan tinggi ini.
Riri                              : Bukannya begitu Madam. Saya sudah tidak punya ibu.
Madam Marcia            : Kamu jangan bohong, Nak. Saya tahu ibu kamu itu bernama Cheryl.
Riri                              : Dia bukan ibu saya, Madam. Dia itu pelacur! (berbicara ceplos).
Madam Marcia            : Apa ibu kamu pelacur? Oh, jadi saya sudah salah selama ini. Saya sibuk melindungi kamu dari cercaan teman-teman kamu. Teryata saya melindungi anak seorang pelacur. Pantas saja dewan guru dan guru besar ngotot ingin kamu keluar (membalas ucapan Riri dengan tajam).
Riri                              : Cukup... Madam... Cukup...! (meneteskan air matanya).
Madam Marcia            : Maaf, Nak. Madam harus tegas. Guru besar sudah mengambil keputusan bulat. Kamu harus keluar dari universitas ini!
            Ucapan  itu seakan menghantam hati kecil Riri. Sebuah perkara baru kini bertengger di keningnya. Dirinya dipenuhi perasaan murka. Ia murka atas hidupnya. Wajahnya pucat dan matanya menyorotkan ketidaksenangan akan dirinya. Ia berlari menuju taman. Ia meraih ponselnya dan segera menelpon Vino, kekasihnya.
Riri      : Vin… Bisa nggak kita ketemu sekarang?
Vino    : Boleh… Boleh… aku juga pengen ngomong ma kamu. Di taman kampus aja ya!
            Riri langsung menutup ponselnya dan berjalan menyusuri kerumunan mahasiswa yang menertawai dirinya. Sejuta cercaan keluar dari mulut mereka. Tapi tak satu pun yang ia dengarkan. Dirinya serasa hampa… tak berarti lagi. Hanya satu yang ia harapkan. Cinta yang meredam murka yang sedang menjalar dalam nadinya.
Vino    : Hei! Apa yang ingin kamu ngomongin?
Riri      : Vin… aku hancur, Vin… aku hancur (memeluk Vino sambil menangis).
Vino    : Aku tahu kok! Kamu yang sabar ya. Aku….. (Vino menahan ucapannya. Ia takut ucapannya nanti akan menyakiti Riri).
Riri      : Vin… Aku cuma mau ucapin selamat tinggal. Gue tahu kok apa yang mau kamu omongin. Tapi biarkanlah hatiku siap dulu mendengar ucapan kamu sebelum itu terlontar dari mulut kamu. Aku cuma butuh cinta kamu lima menit terakhir ini. Setelah itu kamu nggak usah takut lagi jalan sama gebetan baru kamu itu. Aku tahu kok kamu mau mutusin aku kan? Kamu malu kan punya pacar anak seorang pelacur. Jawab Vin! (memukul dada Vino kemudian melepaskan rangkulannya).
Vino    : Ri, maaf…… (berbicara dengan nada sendu).
Riri      : Udah Vin. Aku tahu kok posisiku. Kamu nggak perlu membohongiku. Aku memang tak pantas dicintai. Kamu nggak perlu mengasihaniku. Aku udah bahagia dapat merasakan cintamu, Vin. Setidaknya aku sudah pernah dicintai. Jangan pernah kau lontarkan kata putus dari mulutmu, Vin. Please! Biarkan aku mati karena dicintai, Vin!
Vino    : Riri….. aku… (menahan ucapannya dan mengelus rambut Riri dengan lembut). Aku antar kamu pulang ya! (membujuk Riri. Riri hanya mengangguk lemah). Kini Riri benar-benar kosong. Vino berusaha menyadarkannya).
Vino    : Riri… kamu nggak pa pa kan?
Riri      : Kamu tenang aja, Vin. Aku dah baikan kok. Aku duluan ya. Semoga kita dapat ketemu lagi!
            Kini perasaan Riri mulai tenang. Ia seolah mampu menerima segalanya dengan tegar dan bergegas pulang.


ADEGAN III
            Sesampainya di rumah, Riri langsung menerobos masuk tanpa mengucapkan salam.
Ibu       : Riri, kamu dari mana, Nak? (menghampiri  Riri dan mengelus wajahnya).
Riri      : Lepaskan tangan kamu itu dari wajahku. Gue nggak sudi kau panggil anakmu. Ibuku bukan pelacur! Camkan itu! (menatap tajam).
Ibu       : Berani ya kamu sama Ibu. Walaupun aku pelacur, aku ini ibumu. Aku yang membesarkanmu sampai segede ini.
Riri      : Sudahlah… Jangan bahas itu lagi. Terima sajalah. Gue nggak mau kamu panggil aku anakmu. (berlari menuju kamar dan membanting pintu, meninggalkan Ibu sendiri di ruang tamu).
            Hatinya kembali meraung kesakitan. Tak ada lagi kebahagiaan di dalam dirinya. Impian, harapan, cinta, kasih sayang semuanya palsu. Ia tak percaya siapa-siapa lagi. Tiba-tiba ia mengingat Katy, sahabatnya. Ia ingin berbicara dengannya. Dengan cekatan ia meraih diary di balik bantalnya dan bergegas menuju gudang. Kini perasaan cemas menghantuinya. Ia serasa dikejar takdir. Tiba-tiba langkahnya terhenti di ruang tamu. Ia melihat ibunya menemui seorang lelaki tua yang umurnya kira-kira 5 tahun lebih tua dari ibunya. Tapi ia sudah kebal dengan suasana itu. Kadang ia merasa jijik tinggal di rumah itu. Rumah itu bagaikan neraka baginya.
Riri      : Katy.. Katy, kamu dimana? (mencari-cari Katy ke seluruh sudut gudang). Katy… Kok kamu sembunyi disini? (menatap heran). Wajah kamu kenapa pucat begini. Katy…! Jawab Katy!(menguncang tubuh Katy perlahan berusaha menyadarkannya).
Katy    : Maaf, Kak. Katy takut… Kakak kelihatan berbeda. Aura kakak redup, aku takut melihatnya.
Riri      ; Iya, Kat… Kakak lagi sedih nih. Kakak udah nggak sanggup hidup lagi. Diri kakak penuh dengan kebencian. Lebih baik aku mati daripada hidup menderita (menatap Katy dengan mata sendu). Jangan menangis, Dek! Kakak nggak pa pa kok. Mati adalah pilihan kakak. Dengan sedikit sayatan kecil di lengan kakak penderitaan kakak akan sirna. Maaf ya Kat, kakak ninggalin kamu. Kakak minta tolong Kat, letakkan diary ini di samping kakak saat kakak mati ya.
Katy    : Kak, jangan! (merengek).

1 komentar:

  1. Casino Rewards Card - JTM Hub
    With every purchase you receive, you receive the Casino Rewards 청주 출장마사지 Card that will help you keep 충청남도 출장샵 playing the casino games. The 구미 출장안마 app gives you the 안성 출장안마 opportunity to 영주 출장마사지

    BalasHapus